Saat ini resistansi (kekebalan) antimikroba untuk mengobati penyakit infeksi di rumah sakit (RS) dan komunitas meningkat dan mencemaskan dunia. Istilah Antimikroba yang dimaksud adalah antibiotik (obat pembunuh bakteri), antivirus (obat pembunuh virus), dan antijamur (obat pembunuh jamur). Penggunaan antimikroba berlebihan atau penggunaan yang salah oleh para tenaga kesehatan maupun masyarakat masih cukup tinggi. Data kemenkes RI menyatakan bahwa terdapat hampir 92% masyarakat Indonesia tidak menggunakan antimikroba yang tepat. Selain itu, penggunaan khususnya antibiotik pada hewan ternak dan ikan, serta lemahnya pengendalian infeksi dan kebersihan di fasilitas kesehatan turut memberi andil terjadinya resistansi antimikroba.
Infeksi mikroba yang resistan (kebal) obat menimbulkan malapetaka di dunia kesehatan dan sekitarnya, karena memberi dampak buruk kesehatan (menurunkan angka kesembuhan, meningkatkan angka kematian, penyebaran infeksi tak terkendali dan semakin berkembang luas), dampak ekonomi ( biaya perawatan berkepanjangan dan tinggi, biaya antimikroba menjadi mahal), dan dampak sosial (resistansi antimikroba yang awalnya terjadi hanya di rumah sakit menjadi berkembang ke lingkungan masyarakat). Sementara itu, penemuan obat (antimikroba) baru masih relatif lambat atau cenderung menurun.
Memahami Situasi Antara Kebal Obat dan Peranan Antimikroba
Resistansi artinya obat antimikroba yang digunakan pasien untuk penyakit infeksi tertentu tidak bekerja dalam membunuh mikroba di dalam tubuh, walaupun dengan pemberian dosis obat yang standar. Resistansi diawali ketika ada penggunan antimikroba yang luas dan tidak tepat di masyarkat, lalu satu atau dua mikroba tersebut dapat bertahan hidup lalu bermutasi menjadi mikroba yang resistan obat. Mikroba resistan tersebut dapat menyebar dengan cara mentransfer (perpindahan) gen resistan ke mikroba lainnya yang masih sensitif obat, sehingga mikroba tersebut berevolusi dan akan menjadi resistan pula.
Akibat Penggunaan Antimikroba yang Salah
Tenaga kesehatan (dokter) umumnya mengikuti pendekatan sistematik dalam memilih regimen obat. Maksud pendekatan sistematik tersebut antara lain: (1). Memastikan adanya infeksi dan identifikasi mikroba melalui serangkaian pemeriksaan yang menghasilkan diagnosa; (2). Menyeleksi terapi presumtif dengan pertimbangan terhadap lokasi (organ) yang terinfeksi berdasarkan keadaan berat atau akutnya penyakit, faktor pejamu (pasien), faktor yang berhubungan dengan obat dan kebutuhan penggunaan obat lebih dari satu; (3). Memonitor respon terapi untuk menilai efektivitas suatu antimikroba yang telah digunakan.
Apabila pendekatan sistematik tersebut tidak diterapkan oleh para tenaga kesehatan dan hanya mengandalkan peresepan antimikroba spektrum luas, maka timbul masalah antara lain penggunaan obat bisa menjadi mahal, serta lebih toksik, resistansi meluas dan terjadi superinfeksi (yaitu timbulnya infeksi sekunder yang terjadi saat pengobatan suatu penyakit infeksi) yang sangat sulit diobati.
Pemilihan antimikroba yang tepat oleh para dokter memang harus melalui serangkain tahap-tahap selektif dan pertimbangan mendalam. Bisa kita bayangkan apabila antimikroba digunaan sembarangan oleh masyarakat, contohnya menggunakan antimikroba (antibiotik khususnya) tanpa konsultasi atau tanpa pemeriksaan atau tanpa resep dokter, mengulang resep antibiotik yang lama atau dengan mudah memutuskan membeli sendiri antimikroba ketika batuk, pilek atau demam, serta konsumsi antimikroba yang tidak tuntas oleh pasien. Hal tersebut tentunya dapat menambah parah ancaman terhadap timbulnya resistansi antimikroba.
Sumber:
1. Kemenkes RI, Resistensi Antimikroba Ancaman Kesehatan Paling Mendesak, Strategi One Health Perlu Digencarkan, 2021
2. WHO, Antimicrobial Resistant, 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar