Nina Mariana

Blog Seputar Kesehatan, Obat & Terapi

 

Bersih bebas TBC



Apa benar masalah Tuberkulosis (TBC) tidak kelar-kelar atau tidak pernah tuntas? Berikut fakta-faktanya.



Kuman Mycobacterium tuberculosis (M.tbc) ditemukan sejak lebih 100 tahun lalu. Penemunya adalah seorang ilmuwan bernama dr. Robert Koch, asal Berlin.



Tuberkulosis (TBC) adalah penyebab utama kematian akibat penyakit infeksi, angka kesakitan melebihi malaria dan HIV. World Health Organization (WHO) telah menyatakan TBC sebagai global emergency karena setiap tahun terdapat sekitar 1,3 juta kasus meninggal akibat TBC dengan sebaran terbanyak di Asia Tenggara (43.7%) kemudian Africa (24.5%).



Indonesia berada di peringkat kedua negara dengan jumlah penderita TBC terbanyak di dunia. Pada tahun 2020 jumlah kasus TBC di Indonesia dilaporkan 824.000 kasus baru, dengan insiden 301 per 100 ribu penduduk dan kasus kematian 93.000.



Permasalahan TBC belum dapat diselesaikan (banyak faktor). Angka keberhasilan (succes rate) seluruh kasus TBC cenderung menurun dari tahun ke tahun, yaitu tahun 2008 (89,5 %) dan tahun 2018 (87,8%). Kontribusi pasien yang sembuh terhadap angka keberhasilan pengobatan menurun, sehingga angka kesembuhan perlu mendapat perhatian karena akan meningkatkan penularan penyakit TBC. Tanpa kita sadari seseorang yang terinfeksi TBC tanpa pengobatan apapun berkeliaran di lingkungan kita.



Masalah pengobatan TBC semakin rumit dengan bertambahnya kasus TBC resisten obat (TBC RO) yang artinya Obat TBC sudah kebal terhadap kuman TBC. Sementara itu, kasus TBC RO lebih sulit diterapi karena belum ada obat terbaik, membutuhkan waktu panjang, meningkatnya risiko efek samping obat dan biaya kesehatan, serta tingkat kesembuhan yang buruk. 



Di Indonesia pada tahun 2019 terdapat kasus baru terkonfirmasi TBC RO 11.463 kasus. Sekitar 5.531 pasien TBC RO menjalani pengobatan diIndonesia dan masih ada kesenjangan 51,7% pasien yang belum memulai pengobatan. Angka keberhasilan pengobatan TBC RO di Indonesia berkisar di antara 49–51% masih dibawah target capaian setiap tahunnya. Selain itu angka loss to follow up (kasus yang hilang dari pantauan tenaga kesehatan) sekitar 24-26%. 



Kasus TBC terus bertambah dan muncul strain resistan obat (TBC RO) maka dibutuhkan peningkatan metode diagnosis yang lebih cepat. Selama ini teknik diagnosis dari mulai pengiriman sampel untuk pemeriksaan dan mendapatkan laporan hasil laboratorium dengan identifikasi dan sensitivitas obat masih memakan waktu sekitar 1 bulan. Oleh karena itu kita perlu memahami mekanisme molekuler dan seluler genetika kuman TBC (M.tbc), hubungan pasien (host) dengan patogen (kuman TBC), dan resistensi obat yang terjadi, sehingga dapat membantu pengembangan teknik diagnosis yang lebih cepat dan inisiasi dini terapi yang tepat.



Seiring masalah kasus TBC, juga masih banyak PR kesehatan yang lain. Bersambung...




Sumber:
1. Global Tuberculosis Programme (who.int),2021
2. Philip C, Madhukar Pai, Dermot M, Mukund U, Mario C R. International standads for tuberculosis care. Lancet infec Disease. 2006 Nov;6(11):710-25. doi: 10.1016/S1473-3099(06)70628-4.
3. Global Tuberculosis Programme (who.int), 2022
4. https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-tuberkulosis-2018.pdf



 




Tidak ada komentar: