Nina Mariana

Blog Seputar Kesehatan, Obat & Terapi

                                                                         


Proses penemuan senyawa  baru atau calon obat baru hingga menjadi obat baru yang dapat digunakan untuk pasien membutuhkan waktu cukup panjang. Senyawa baru terlebih dulu diuji dengan serangkaian uji farmakologik pada organ terpisah maupun pada hewan. Jika ditemukan suatu aktivitas farmakologik  yang bermanfaat, maka senyawa ini akan diteliti lebih lanjut.



Uji obat baru pada hewan akan memberikan data yang berharga, antara lain hasil uji farmakologi toksikologi. Hasil uji tersebut belum dapat menyatakan efek yang pasti terhadap  manusia, karena spesies yang berbeda tentu berbeda pula jalur dan kecepatan metabolisme, kecepatan ekskresi, sensitivitas reseptor, anatomi atau fisiologinya.



Tahap selanjutnya yang paling penting dan memastikan efek terapi maupun efek samping obat baru adalah uji pada manusia yaitu dikenal dengan sebutan uji klinis. Tanpa melalui tahap-tahap uji tersebut, obat baru belum dapat diberikan kepada pasien.                



Mengenal Pengujian Obat Pada Manusia (Uji Klinis)


Uji klinis dilakukan guna memastikan efikasi, keamanan, dan gambaran efek samping yang dapat timbul pada manusia. Uji klinis terdiri dari uji fase I sampai IV. Adapun keterangannya sebagai berikut :


Uji Klinis Fase I


Fase ini merupakan pengujian suatu obat baru untuk pertama kalinya pada manusia. Fase ini meneliti keamanan dan tolerabilitas obat, bukan efikasinya, maka dilakukan pada sukarelawan sehat, Tujuan pertama fase ini ialah menentukan besarnya dosis maksimal yang dapat ditoleransi yaitu dosis sebelum timbul efek toksik yang tidak dapat diterima. Untuk mencari efek toksik yang mungkin terjadi dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium yang spesifik.


Selain itu juga fase ini meneliti farmakodinamik (pengaruh obat terhadap sel tubuh ) dan farmakokinetik ( efek tubuh terhadap obat atau nasib obat dalam tubuh). Hasil penelitian ini digunakan untuk meningkatkan ketepatan pemilihan dosis pada penelitian selanjutnya.


Pada fase ini dilaksanakan pada sejumlah kecil subjek (sekitar 20-50 orang sehat) dengan pengamatan yang intensif oleh dokter ahli farmakologi klinik dan dikerjakan di tempat yang memiliki sarana klinis dan laboratorium yang lengkap, termasuk sarana untuk mengatasi keadaan darurat.



Uji Klinis Fase II


Fase ini obat dicobakan pertama kalinya pada pasien. Tujuannya adalah melihat apakah obat ini memiliki efek terapi. Fase II ini dilaksanakan oleh dokter ahli farmakologi klinik dan dokter ahli klinik dalam bidang yang terkait. Seleksi pasien harus ketat yaitu tidak ada penyakit penyerta dan tidak mendapat terapi lain, dan setiap pasien harus dimonitor dengan intensif.


Pada fase II awal, pengujian efek terapi obat dikerjakan secara terbuka artinya tanpa pembanding dan tidak tersamar, karena masih merupakan penelitian eksploratif, karena itu belum dapat diambil kesimpulan yang mantap mengenai efikasi obat yang bersangkutan.


Pada fase II akhir atau fase III awal, pengujian efek bertujuan untuk menunjukkan bahwa suatu obat memiliki efek terapi, perlu dilakukan uji klinik komparatif yang membandingkan dengan plasebo atau obat standar yang sudah ada. Untuk menjamin validitas uji klinik komparatif ini, alokasi pasien harus acak (atau random) dan pemberian obat dilakukan secara tersamar ganda (double blinding). Pada fase ini tercakup juga studi kisaran dosis (dose-ranging study) untuk menetapkan dosis optimal yang akan digunakan selanjutnya. Jumlah subjek yang mendapat obat baru pada fase ini sekitar 100-200 pasien.


Uji Klinis Fase III


Tujuan fase ini adalah untuk memastikan efikasi terapi obat baru (sama dengan akhir fase II) dan untuk mengetahui kedudukan obat baru ini dibandingkan dengan obat standar. Fase ini akan menjawab pertanyaan mengenai :


1. Efeknya jika digunakan secara luas

2. Efek samping lain yang belum terlihat pada fase II

3. Dampak penggunaannya pada pasien yang tidak diseleksi ketat



Pada fase ini dilakukan pada sejumlah besar pasien yang tidak terseleksi ketat atau pasien memiliki penyakit penyerta dan atau mendapat terapi lain. Jika hasil uji klinis fase ini menunjukkan bahwa obat baru ini cukup aman dan efektif, maka obat dapat diberikan ijin pemasaran. Jumlah pasien yang diikutkan dalam fase ini minimal 500 orang.


Uji Klinis Fase IV (Post Marketing Surveillance)


Fase ini bertujuan menentukan pola efektivitas dan keamanannya pada penggunaan obat di masyarakat serta pola efektivitas dan keamanannya pada penggunaan yang sebenarnya. Dikenal dengan post marketing surveillance karena merupakan pengamatan terhadap obat yang telah dipasarkan. Fase ini akan menjawab pertanyaan mengenai :


1. Efek samping yang frekuensinya rendah atau yang timbul setelah pemakaian obat bertahun-tahun lamanya

2. Efektivitas obat pada pasien berpenyakit berat atau berpenyakit ganda, pasien anak atau usia lanjut, atau setelah penggunaan berulangkali dalam jangka panjang

3. Masalah penggunaan obat yang berlebihan, penggunaan yang salah, penyalahgunaan dan lain-lain

4. Data dari fase ini menentukan status obat yang bersangkutan dalam terapi.



Perkembangan Terapi Infeksi Corona Virus ( COVID-19)


Sejak penemuan kasus awal COVID-19 di Wuhan hingga saat ini, status pandemi COVID-19 dan dampaknya masih menjadi krisis global. Dimana obat maupun vaksin definitif untuk COVID-19 yang berstandar internasional masih terus dikembangkan dan melalui perjalanan fase demi fase uji klinis. Saat ini sangat dibutuhkan identifikasi kandidat obat COVID-19 yang dapat meningkatkan hasil klinis pengobatan dan dapat mengurangi keparahan penyakit serta kematian. Identifikasi tersebut terkait peran terhadap terapi target inang (host-targetted therapies), antara lain : data invitro/in-vivo terhadap COVID-19, analisi farmakokinetik-farmakodinamik obat, pertimbangan dosis, cara dan waktu penggunaan, serta yang paling penting adalah data khasiat dan keamanan pada manusia.



Sejauh ini, terdapat  senyawa baru hingga obat lama yang sudah beredar, kemudian diuji ulang dengan indikasi yang baru, contohnya antimalaria (Cloroquine) yang terindikasi baru sebagai antivirus COVID-19, atau anti HIV (Lopinavir) terindikasi sebagai antivirus COVID-19. Pada masa pandemik COVID-19  ini banyak uji klinis yang sedang berlangsung  menggunakan obat lama dengan indikasi baru. Obat tersebut kemudian dilakukan uji tanpa perlu  melalui fase I. Sampai saat ini penelitian obat COVID-19 masih berjalan.



Modal terapi lainnya dari mulai convalescent plasma hingga mesenchymal stem cell juga sedang dikembangkan dalam uji klinik. Dalam kondisi pandemi COVID-19, apabila penggunaan obat untuk pasien COVID-19 belum memungkinkan menggunakan uji klinis dengan metode random maka harus dilakukan dengan mekanisme sesuai WHO Monitored Energency Use of Unregistered Interventions Framework (MEURI). Monitored Energency Use of Unregistered Interventions Framework bertujuan untuk memberikan akses kepada pasien untuk tetap mendapatkan intervensi pengobatan berdasarkan manfaat yang memungkinkan sesuai data rasionalitas yang ada, dengan memastikan pemantauan ketat terhadap penggunaan obat tersebut dan memberikan data hasil penggunaannnya.





Sumber

1. Vicki L. Mahan. Clinical Trial Phases. International Journal of Clinical Medicine, 2014, 5, 1374-1383
2. Arini, Sulistia. Pengantar Farmakologi. Dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi ke 8.. Indonesia : Departemen Farmakologi dan terapi FKUI, 2015, p24-26
3. Wilkinson GR. Pharmacokinetics. In Hardman JG, eds. Goodman & Gilman’s The Phaemacological Basis of Therapeutic. 12nd edNew York: McGraw-Hill: 2011.p3-18
4. PAHO , WHO. Emergency use of unproven interventions outside of research Ethics guidance for the COVID-19 pandemic.2020
                                                            


Uji Klinis



Tidak ada komentar: