Penggunaan obat secara bersamaan memungkinkan terjadi interaksi obat, dalam hal ini khusus membahas interaksi antar obat kimia dan suplemen herbal. Secara umum, interaksi obat tidak selalu berakibat buruk atau pasti menimbulkan efek toksik. Ada interaksi yang menguntungkan, ketika keduanya dapat bersinergi meningkatkan kesembuhan pasien.
Suplemen herbal menunjukkan komposisi fitokimia yang unik dan kompleks, kadang kurangnya pengujian (uji klinik) keamanan dan kemanjuran premarket pada produk tertentu; dan masalah terkait dengan kualitas produknya menjadi salah satu keterbatasan.
Secara garis besar, jenis interaksi yang telah diidentifikasi adalah saat obat dalam tahap proses metabolisme di tubuh dan berdampak pada efek obat yang dihasilkan. Tahap proses metabolisme obat adalah saat fitokimia memediasi perubahan dalam aktivitas enzim metabolisme (sitokrom P450) atau protein transpor (misalnya, P-glikoprotein), protein transpor kation organik (OCTP), pengangkutan anion organik polipeptida (OATP). Secara bersamaan, protein-protein tersebut adalah penentu utama dalam proses penyerapan, distribusi, dan eliminasi banyak bahan kimia termasuk obat-obatan kimia.
Enzim pemetabolisme obat (sitokrom P450) terdapat di hati dan usus. Enzim ini terlibat dalam metabolisme oksidatif obat-obatan dan herbal lainnya. Protein transpor (P-glikoprotein) di usus dan hati berfungsi mengangkut zat kembali ke usus atau ke dalam empedu. Protein transpor lainnya memfasilitasi penyerapan organik anion atau kation melintasi membran sel berbagai organ.
Jadi, jika ada suplemen herbal yang dapat memodulasi aktivitas enzim metabolisme obat dan/atau transporter dapat berdampak pada penyerapan atau eliminasi obat kimia yang sedang dikonsumsi. Hasil akhirnya bisa berdampak bahwa obat kimia berkurang kemanjurannya atau menjadi toksik. Contoh furanocoumarin yang ada dalam jus grapefruit dapat menghambat metabolisme enzim CYP3A4 di usus dan telah terbukti meningkatkan distribusi obat kimia ke darah (contoh obat kimianya adalah felodipin, midazolam, siklosporin), sehingga obat kimia tersebut bisa lebih toksik.
Zat lain, polifenol (misalnya, anthocyanin, kumarin, flavonoid, lignan, tanin), tidak hanya ada di jamu, tapi ada di sayuran, buah, bunga, dan daun berbagai tumbuhan. Zat tersebut bila dikonsumsi dalam jumlah banyak, dapat menjadi penghambat kuat atau penginduksi enzim CYP dan protein transport obat kimia tertentu.
Penggunaan ekstrak herbal untuk penggunaan jangka panjang, juga dapat menimbulkan risiko yang lebih besar karena dapat berinteraksi dengan obat kimia. Contoh laporan kasus ginko biloba yang digunakan pasien selama 2 tahun, ginko biloba dengan antikoagulan (obat pengencer darah) tampaknya menyebabkan penghambatan faktor aktivasi trombosit oleh ginkgo biloba, sehingga menyebabkan perdarahan saluran cerna.
Oleh karena itu, usahakan gunakan jenis obat sesedikit mungkin, termasuk obat kimia (harus sesuai indikasi) dan obat herbal. Selain itu minum obat harus dengan air putih, bukan dengan jus buah, serta pantau terapi terutama pada pasien usia lanjut atau sakit berat dan mempunyai gangguan fungsi hati atau ginjal. Tips tersebut untuk mengurangi efek interaksi yang merugikan pada penggunaan obat kimia dan suplemen herbal.
Sumber:
1. Gregory J et al. Ginkgo and Warfarin Interaction in a Large Veterans Administration Population, 2015
2. eBook Manucher Ebadi, Pharmacodinamic of herbal medicine, 2007
3. Buku ajar Farmakologi dan Terapi, 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar