Nina Mariana

Blog Seputar Kesehatan, Obat & Terapi



Obat




Tuberkulosis (TBC) maupun HIV merupakan penyakit menular dengan mekanisme penularan berbeda, namun pasien HIV bisa terinfeksi TBC, begitu pula sebaliknya. Penularan HIV melalui darah atau cairan tubuh baik dari hubungan seksual bebas maupun jarum suntik. Penularan TBC melalui droplet (percikan batuk) dari seseorang penderita TBC terhirup oleh orang lain. Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri, yaitu Mycobacterium tuberkulosis (M. tuberculosis) strain kompleks, sedangkan HIV adalah virus patogen Human Immunodeficiency Virus. 



Fakta TBC dan HIV

Berdasarkan World Health Organization (WHO) Global TBC Report 2022, diperkirakan ada 10,6 juta (9,9–11 juta) kasus TBC di seluruh dunia pada tahun 2021, sebanyak 6,7% di antaranya adalah kasus koinfeksi TBC/HIV yaitu gabungan infeksi TBC dan HIV pada satu pasien. Gabungan infeksi TBC dan HIV (TBC/HIV) meningkat 4,5% dari perkiraan dari 10,1 juta (9,5–10,7 juta) pada tahun 2020; terdapat 187.000 kematian di antara orang HIV-positif. Seorang pasien yang terinfeksi TBC dan HIV akan menelan obat yang cukup banyak dalam kesehariannya, dimana TBC membutuhkan jangka waktu pengobatan yang panjang dan HIV membutuhkan pengobatan seumur hidup. 



Masalah dan Solusi

Pendekatan pengendalian TBC global maupun HIV yang efektif saat ini didasarkan pada diagnosis dini, akses ke fasilitas pelayanan kesehatan yang mudah serta rejimen pengobatan yang memadai.  Meskipun demikian, masalah berkelanjutan berupa kedaruratan dan penyebaran resistensi (kebal) obat contohnya multidrug resistant (MDR)-TBC, yaitu pasien resistansi terhadap obat-obatan yang sudah ada tidak bisa terhindari.



Tingkat kejadian TBC yang resistan obat merupakan beban bermakna bagi tiap negara, dan dari daerah ke daerah selalu meningkat terutama di negara-negara miskin sumber daya. Kedaruratan TBC resistan obat muncul dari mutasi resistensi kromosom spontan, dan dapat ditularkan langsung dari satu orang ke orang lain oleh bakteri resisten yang memiliki varian ini. 



Gabungan TBC/HIV juga merupakan faktor risiko utama berkembangnya infeksi TBC resistan obat. Gabungan TBC dengan HIV dianggap sebagai penyakit “syndemic” yang paling mematikan bagi manusia, yang bekerja satu sama lain secara sinergis untuk memperberat  beban penyakit.  Gabungan infeksi ini dapat merusak respons imun pasien serta terdapat interaksi obat TBC dan HIV yang menggaggu penyembuhan pasien. Maka hal tersebut memperpanjang waktu yang diperlukan untuk pengobatan, namun berisiko pula resistan obat pada tubuh pasien. 



Penderita TBC dan HIV sangat terkonsentrasi terutama di negara-negara Asia dan Afrika, sehingga menjadikan kasus infeksi kembar TBC/HIV tertinggi. Risiko TBC sekarang meningkat 15-22 kali lebih mungkin pada pasien terinfeksi HIV dibanding yang tidak terinfeksi HIV, walaupun efek imunologis HIV pada jumlah CD4 (parameter laboratorium terkait respon kekebalan tubuh pasien)  masih tetap tinggi. Oleh karena itu, disarankan agar semua pasien dengan TBC aktif atau laten (tersembunyi) dapat menjalani tes HIV dan memulai terapi antiretroviral (ART) untuk meningkatkan jumlah CD4 absolut untuk menghentikan penyebaran infeksi lainnya menggerogoti tubuh.



Jumlah pasien TBC dengan HIV-positif dan riwayat pengobatan TBC sebelumnya masih tinggi dibandingkan dengan HIV-negatif dan kasus TBC baru. Oleh karena itu, tampaknya strategi pengendalian saat ini tidak cukup untuk mengurangi kedaruratan jenis TBC resistan obat. Oleh karena itu, temuan dalam berbagai penelitian dapat menjadi indikator penting bagi sistem pelayanan kesehatan dan dokter. Penelitian dalam rangka untuk merancang dan menerapkan rejimen pengobatan TBC agar lebih efektif dan sesuai untuk pasien TBC dan meningkatkan angka kesembuhan mereka di daerah tersebut. 



Penerapan metode pengendalian dan pencegahan yang tepat sangat dibutuhkan untuk mengurangi munculnya dan penularan jenis TBC resistan obat di masyarakat. Dengan demikian, pemerintah, petugas kesehatan, dokter, programmer kesehatan dan pelaksana lainnya harus memberikan perhatian khusus, antara lain:
1. Peningkatan akses berobat ke fasilitas kesehatan, termasuk transportasi.
2. Pasokan obat anti-TBC yang tidak terputus 
3. Dukungan pasien TBC/HIV untuk kepatuhan pengobatan
4. Konseling TBC dan HIV lebih lanjut, dan 
5. Rancang paket dalam program pengendalian TBC/HIV 



Semoga masalah besar penularan infeksi di daerah-daerah padat penduduk dapat terkendali dan teratasi.




Sumber:

1. WHO, GLobal TB Report. 2022
2. WHO, Global TB Report. 2021
3. Aynias S, Yilak G, Ayenesh A dkk. Characteristics of TB/HIV Co-Infection and
Patterns of Multidrug-Resistance Tuberculosis in the Northwest Amhara, Ethiopia. 2023

Tidak ada komentar: